Minggu, 19 Juli 2015

Next: Sayonara untuk Reputasi Claudio Ranieri

Sayonara untuk Reputasi Claudio Ranieri

Sayonara untuk Reputasi Claudio Ranieri, info terbaru dari Bolapro Sayonara untuk Reputasi Claudio Ranieri untuk anda yang Pro Bola, Berikut ini adalah berita sepak bola terbaru dengan judul Sayonara untuk Reputasi Claudio Ranieri, selain itu masih banyak lagi berita bola lainnya pastinya update terbaru dan sedang hangat untuk dibicarakan. Dan dibawah ini adalah hasil skor akhir dan klasemen sementara selengkapnya

Bolapro, Nama Claudio Ranieri tak bisa dipungkiri cukup familiar dengan telinga kita. Bagaimana tidak, dalam karier kepelatihannya yang hampir mencapai 30 tahun, sejumlah tim kesebelasan besar telah ia tukangi.

Tapi dengan pengalaman melatih yang banyak itu, Ranieri harus menerima kenyataan bahwa semenjak diberhentikan oleh timnas Yunani pada pertengahan November 2014, pelatih kelahiran 20 Oktober 1951 ini belum lagi melatih. Ini artinya, sudah hampir delapan bulan Ranieri menganggur.

Menjelang musim 2015/2016 namanya kembali muncul ke permukaan. Kali ini ia santer diberitakan akan kembali ke Inggris untuk menangani kesebelasan yang musim lalu finis diurutan ke-14 Premier League, Leicester City. Ranieri pun siap membuka pembicaraan dengan klub yang bermarkas di Stadion King Power tersebut.

“Yunani telah menjadi masa lalu saya, dan saya menantikan sebuah proyek besar berikutnya yang akan datang,” papar Ranieri pada Sunday Post. “Hingga saat ini, belum ada pembicaraan dengan Leicester. Tapi jika nantinya mereka menghubungi saya, saya siap mendengar apapun yang akan mereka sampaikan.”

Seperti yang sudah dikatakan Ranieri sendiri, Leicester sebenarnya belum ada kontak dengan pelatih kelahiran Roma itu. Namun beberapa sumber, seperti Sky Bet misalnya, menjagokan Ranieri akan menjadi pelatih Leicester berikutnya, menyisihkan nama-nama seperti Martin O’Neill, Lucas Neill, atau Roberto Di Matteo.

Namun apa yang ditulis kolumnis Metro, Chris Forryan, cukup menggelitik. Menurutnya, penunjukan Ranieri, meski memiliki segudang pengalaman, akan membuat Leicester menjadi lebih buruk, khususnya dengan kebiasaan Ranieri yang sering melakukan rotasi pemain –hal mana membuatnya ia dijuluki “Tinkerman”.

Saya sependapat dengan apa yang dituliskan Chris. Namun saya lebih melihat penurunan insting Ranieri terkait mendatangkan pemain atau memaksimalkan talenta pemainnya, yang membuat prestasinya beberapa tahun belakangan ini meredup.

Ranieri Sang Pembangun Tim

Hingga saat ini, tercatat 14 tim telah ditukangi Ranieri, termasuk Fiorentina, Napoli, AS Roma, Juventus, Parma, Inter Milan Chelsea, Atletico Madrid, dan Valencia.

Secara raihan trofi, Ranieri bisa dibilang tak begitu sukses. Prestasi terbaiknya adalah meraih trofi-trofi turnamen macam Coppa Italia, Super Coppa, Copa del Rey, UEFA Intertoto, dan UEFA Super Cup. Ya, meski sejumlah tim besar pernah dilatihnya, ia belum pernah sekalipun menjadi juara liga.

Prestasi Ranieri memang bukan terletak pada pencapaian trofinya. Melainkan kehebatannya dalam membangun sebuah kesebelasan. Melihat pencapaiannya selama ini, Ranieri tampaknya memang terlahir untuk membangun sebuah tim, menciptakan fondasi, ketimbang menjadikan timnya sebagai juara.

Spesialiasi Ranieri sudah terlihat sejak awal karier kepelatihannya. Cagliari yang merupakan tim ketiga yang ia besut, langsung dibawanya promosi dua kali berturut-turut: Dari C1 ke Serie B, lalu ke Serie A di tahun 1990. Namun, skuat yang dibangun Ranieri selama tiga musim itu hanya mampu bertahan di papan tengah Serie A. Berbeda ketika kontraknya dengan Cagliari berakhir dan tempatnya digantikan Carlo Mazzone pada musim berikutnya, Cagliari langsung melesat ke babak semifinal Piala UEFA.

Dari Cagliari Ranieri menukangi Napoli. Ia tak hanya memperbaiki peringkat Napoli dari peringkat delapan ke nomor empat. tapi juga menjadikan seorang pemuda bernama Gianfranco Zola berhasil menggantikan peran legenda Napoli, Diego Maradona.

Setelah hanya finis di urutan 11 pada musim keduanya bersama Napoli, giliran Fiorentina yang mengunakan jasa Ranieri. Dan ia berhasil membawa La Viola promosi ke Serie A pada musim perdananya.

Di klub kota Firenze itu Ranieri mampu bertahan selama empat musim. Pada musim ketiganya ia berhasil memuaskan dahaga haus gelar Fiorentina dalam 20 tahun dengan menjuarai Coppa Italia. Piala Super Italia menyusul pada musim berikutnya.

Prestasi tersebut membuat kesebelasan asal Spanyol, Valencia, tertarik menggunakan jasanya. Dan Ranieri lagi-lagi berhasil mengulang apa yang ia lakukan bersama Fiorentina dengan menjuarai Copa del Rey dan UEFA Intertoto bersama Los Che, yang terakhir kali merasakan gelar juara pada 1980.

Lebih dari itu, Ranieri juga mengeluarkan potensi pemain-pemain muda akademi Valencia seperti Gaizka Mendieta, David Albelda,Javier Farinos, dan Miguel Angulo. Ia pun melakukan pembelian cerdas yang salah satunya adalah kiper Santiago Canizares, yang kemudian menjadi salah satu legenda klub tersebut.

Namun lagi-lagi Ranieri hanya mampu membangun sebuah kesebelasan. Kehebatan Valencia justru terlihat sepeninggal dirinya. Ketika mengganti orang Italia itu dengan Hector Cuper, Valencia berhasil melangkah ke babak final Liga Champions dua kali beruntun. Rafael Benitez yang menggantikan Cuper, masih mengandalkan Canizares, Angulo, Albelda, dan salah satu pemain pembelian yang dilakukan Ranieri, Amedeo Carboni, untuk menjuarai La Liga pada musim 2003/2004.

Kesebelasan yang kemudian berhasil dibangun fondasinya oleh Ranieri adalah Chelsea. Dari sentuhannya, John Terry yang sebelumnya sempat dipinjamkan ke Nottingham Forrest, mendapatkan banyak kesempatan bermain meski pada pos bek tengah terdapat Marcel Desailly dan Frank Lebouef. Bahkan pada musim kedua, Terry menjadi pilihan utama dengan 33 penampilan, menyisihkan Desailly dan William Gallas.

Selain Terry, nama lain yang diorbitkan Ranieri adalah Frank Lampard. Direkrut pada awal musim 2011/2012, Lampard langsung menjadi pilihan utama. Padahal kala itu Ranieri mendapatkan kecaman dari pendukung The Blues karena menjual dua pemain favorit fans pada pos gelandang tengah yaitu Gustavo Poyet dan Dennis Wise.

Kesempatannya untuk membawa Chelsea juara, setelah tiga musim pertamanya bersama Chelsea tanpa gelar, datang berbarengan kepemilikan Chelsea yang berpindah ke tangan Roman Abramovich. Ia kemudian menghabiskan lebih dari 100 juta poundsterling untuk mendatangkan pemain-pemain seperti Hernan Crespo, Juan Veron, Claude Makelele, Damien Duff, dan Adrian Mutu.

Memang, Ranieri kembali gagal memberikan gelar pada musim keempatnya bersama Chelsea dengan segudang pembelian pemain mahal. Namun, berkat tangan dinginnya Chelsea memecahkan rekor paling sedikit kebobolan dan poin terbanyak dalam satu musim, sepanjang sejarah klub London tersebut. Menempati peringkat dua Liga Primer Inggris pun merupakan pencapaian terbaik “Si Biru” dalam 49 tahun terakhir saat itu. Plus, Chelsea berhasil mencapai babak semifinal Liga Champions.

Namun keberhasilan Chelsea lebih berhasil dituai oleh suksesornya, Jose Mourinho. Dan di saat Mourinho memberikan kejayaan bagi Chelsea, dalam skuatnya terdapat nama-nama seperti Terry, Lampard, Gallas, dan Makelele, pemain-pemain andalan Chelsea era Ranieri.

Kemunduran Ranieri

Di timnas Yunani, Ranieri dipecat setelah menelan tiga kekalahan dan satu hasil imbang. Namun, sebelum hanya bertahan selama tiga bulan bersama timnas Yunani, kemampuan Ranieri sebenarnya sudah seringkali dikecam sejak ia menangani Chelsea, 10 tahun sebelumnya.

Saat di Chelsea, Ranieri kerap dikritisi karena kegemarannya melakukan rotasi pemain. Rotasi ini memang baik bagi pengembangan pemain, namun membuat kekuatan tim menjadi kurang stabil. Sedangkan di Inggris begitu lekat dengan ucapan yang dikatakan legenda Inggris, Sir Alf Ramsey yang berbunyi ,”Jangan pernah mengganti tim pemenang”.

Ranieri tak belajar atas kegagalannya bersama Chelsea. Saat kembali ke Valencia setelah menukangi Chelsea untuk menggantikan Benitez yang memberikan gelar juara La Liga bagi Valencia, Ranieri menggunakan sistem yang sama dalam pemilihan pemain.

Setelah tampil gemilang dalam enam laga pertama, Valencia mulai kesulitan meraih kemenangan karena kebiasaan rotasi itu. Pembelian empat pemain Italia-nya; Bernardo Corradi, Stefano Fiore, Emiliano Moretti, dan Marco Di Vaio, tak berhasil mengangkat prestasi tim. Ia pun kemudian hanya bertahan selama tujuh bulan, dipecat dan digantikan Quique Sanchez Flores.

Sejak itu Ranieri cukup lama absen menukangi kesebelasan. Tawaran baru datang pada Februari 2007, atau dua tahun setelah dipecat dari Valencia. Kali itu Ranieri menukangi Parma yang tengah berjuang di zona degradasi. Dan Ranieri berhasil menjawab tantangan, dan Parma langsung melesat ke peringkat 12 hanya alam waktu empat bulan.

Atas pencapaiannya itu, sejumlah kesebelasan asal Inggris seperti Manchester City dan Fulham berencana merekrutnya. Namun tawaran dari raksasa Italia yang baru promosi dari Serie B (terdegradasi karena kasus Calciopoli), Juventus, lebih memikat hatinya.

Di sinilah Ranieri kembali memperlihatkan bahwa ia bukan lagi ‘Team Builder’ seperti yang ia lakukan pada Cagliari, Fiorentina, Valencia, ataupun Chelsea. Bersama Juventus, hampir semua pembelian pemainnya menjadi pembelian gagal.
Ranieri mengeluarkan biaya transfer sebesar sekitar 50 juta pounds untuk memperkuat Bianconeri yang baru kembali ke Serie A.

Para pemain yang direkrutnya saat itu, tak ada satu pun yang kemudian menjadi andalan Juventus. Sergio Almiron, Vincenzo Iaquinta, Jorge Andrade, Hasan Salihamidzic, dan Zdenek Grygera adalah pembelian Ranieri yang gagal menjadi bintang di Turin. Sementara Domenico Criscito, Tiago, Mohammed Sissoko, Antonio Nocerino, dan Cristian Molinaro, gagal dimaksimalkan kemampuannya di mana mereka kemudian lebih bersinar setelah pindah dari Juventus.

Pada musim keduanya bersama Juve tak jauh berbeda. Amauri, Christian Poulsen, Dario Knezevic, Mario Kirev, Alexander Manninger, Olof Mellberg tak menjadikan Juve lebih kuat. Juve justru terlempar ke papan tengah, membuat Ranieri dipecat pada akhir musim.

Ranieri sempat memperbaiki karirnya saat menukangi AS Roma. Pada musim perdananya ia berhasil mengantarkan Roma menjadi runner-up Serie A dengan hanya merekrut banyak pemain gratisan dan meminjam pemain. Tapi pada musim berikutnya, Roma tampil buruk dan ia dipecat pada pertengahan musim.

Inter Milan menjadi destinasi berikutnya. Dan Ranieri kembali gagal melakukan pembelian efektif bagi skuat berjuluk La Beneamata ini pada awal musim 2011/2012. Luc Castagnois, Jonathan, dan Ricardo Alvarez gagal mempertahankan kualitas Inter ketika kehilangan Thiago Motta pada pertengahan musim. Ranieri dipecat saat Inter terlempar ke posisi delapan pada bulan Maret.

Kesebelasan terakhir yang ditukangi Ranieri adalah AS Monaco. Setelah berhasil mengantarkan Monaco promosi ke Ligue 1, Ranieri mendapatkan gelontoran dana dari sang pemilik klub. Pada musim keduanya, total 124 juta poundsterling dikeluarkan Monaco untuk mendatangkan Radamel Falcao, Joao Moutinho, Geoffrey Kondogbia, James Rodriguez, Anthony Martial, Jeremy Toulalan, Eric Abidal, Ricardo Carvalho, dan Dimitar Berbatov.

Namun segudang pemain bintang ini hanya mampu menjadi runner-up Ligue 1, dengan defisit sembilan poin di bawah Paris Saint-Germain. Inilah yang membuatnya dipecat, dan dua bulan kemudian ditunjuk untuk menukangi timnas Yunani.

Kesimpulan

Dari situ tampaknya terlihat bahwa Ranieri sudah bukan lagi pelatih yang bisa membangun fondasi seperti awal-awal karier kepelatihannya. Bahkan bersama kesebelasan yang memiliki dana besar pun ia gagal meraih trofi.

Ini tentunya akan bertabrakan dengan apa yang tengah dibangun Leicester City, yang musim lalu tampil mengesankan jelang berakhirnya liga. Mereka lebih membutuhkan pelatih yang visioner, membangun kesebelasan untuk dua hingga tiga tahun ke depan.

Jika masih berusia awal 40-an hingga awal 50-an, Ranieri tampaknya bisa membangun fondasi yang kuat bagi Leicester City. Namun kini Ranieri sudah berusia 63 tahun. Instingnya yang sudah begitu menurun bisa memperlambat perkembangan Leicester, ataupun kesebelasan lain, yang tengah membangun kekuatan baru.

Inikah ‘sayonara’ untuk reputasi Ranieri sebagai sosok pembangun tim?

====

* Penulis adalah aanggota redaksi @PanditFootball dengan akun twitter: @ardynshufi
** Foto-foto: Getty Image.

(dtc/krs) Sumber: detiksport



Untuk anda yang , | Pro Bola Sayonara untuk Reputasi Claudio Ranieri, Sumber: Berita Bola dipublish oleh Bolapro untuk anda yang ProBola

Tidak ada komentar:

Posting Komentar