Senin, 27 Juli 2015

Next: Menimbang Kompetisi Tingkat Ketiga di Eropa

Menimbang Kompetisi Tingkat Ketiga di Eropa

Menimbang Kompetisi Tingkat Ketiga di Eropa, info terbaru dari Bolapro Menimbang Kompetisi Tingkat Ketiga di Eropa untuk anda yang Pro Bola, Berikut ini adalah berita sepak bola terbaru dengan judul Menimbang Kompetisi Tingkat Ketiga di Eropa, selain itu masih banyak lagi berita bola lainnya pastinya update terbaru dan sedang hangat untuk dibicarakan. Dan dibawah ini adalah hasil skor akhir dan klasemen sementara selengkapnya

Bolapro, Europa League sejatinya hadir sebagai kompetisi yang mewadahi kesebelasan yang tak mampu bersaing dengan “Para Juara” di Liga Champions. Singkatnya, Europa League adalah kompetisi kelas dua yang mempertemukan para juara kompetisi yang secara de facto belum bisa dibilang sebagai “Juara Eropa”.

Konfederasi sepakbola Eropa, UEFA, terus mengupayakan agar negara-negara yang kompetisinya dianggap terpinggirkan bisa mencicipi Liga Champions. Lewat presidennya, Michel Platini, UEFA ingin agar jurang kesenjangan klub-klub pengikut kompetisi top Eropa — diukur lewat rangking koefisien– dengan tim-tim kompetisi Eropa yang lain tidak lagi menganga begitu lebar. UEFA memperkenalkan sejumlah aturan yang pada dasarnya untuk menunjang agar kesebelasan kecil pun bisa berprestasi, atau setidaknya berpartisipasi.

Dengan disparitas yang begitu besar, baik secara kualitas teknik maupun finansial, Platini menyodorkan sejumlah perubahan seperti aturan jumlah pemain home-grown dalam satu kesebelasan yang bertanding, pengaturan gaji dan pengeluaran, hingga jumlah kesebelasan yang berlaga di Liga Champions.

Satu terobosan yang sudah mulai diterapkan adalah aturan financial fair play (FFP) yang membuat Paris Saint-Germain dan Manchester City terhambat dalam aktivitas transfer. Selain itu, Platini pun membuat juara dari kompetisi kecil seperti Liga Slovenia, berpeluang untuk masuk ke babak utama Liga Champions. Ini merupakan bagian dari keinginan Platini yang awalnya ingin mengurangi jumlah maksimal kesebelasan dari sebuah kompetisi, dari empat menjadi tiga.

“Sebagai bagian dari ini, mari kita perkenalkan batas jumlah maksimal tiga kesebelasan dari tiap negara, untuk memungkinkan lebih banyak negara untuk ambil bagian,” ujar Platini seperti dikutip The Guardian pada 2006 silam.

Platini sudah menjabat hampir satu dekade. Lalu apakah keinginannya tersebut sudah tercapai? Atau malah membuat kondisi kian memburuk?

Panjangnya Perjalanan Menuju Liga Champions

Dari 54 negara anggota UEFA, 53 di antaranya tercatat sebagai peserta Liga Champions. Tentu, sebagian di antaranya mesti melewati babak kualifikasi terlebih dahulu. Pada Liga Champions musim 2015/2016 ini hanya 15 negara yang mendapat jatah dua wakil atau lebih, baik di babak utama maupun babak kualifikasi. Sementara itu, negara dengan peringkat koefisien ke-16 hingga ke-53 hanya memiliki satu wakil. Itu pun beberapa dari mereka harus melewati tahapan panjang babak kualifikasi.

Terdapat empat fase untuk mencapai babak utama Liga Champions. UEFA menyebutnya sebagai “tiga babak kualifikasi” dan “satu kali babak play-off”. Tentu saja, juara Liga Estonia, Levadia Tallinn, mesti mengawali perjalanannya dari babak pertama, karena Liga Estonia hanya menempati peringkat koefisien ke-50 .

Jika berhasil, mereka harus melewati hadangan kesebelasan dari juara kompetisi yang lebih kuat seperti juara Liga Rumania, Steaua Bucuresti, juara Liga Skotlandia, Celtic, hingga juara Liga Bulgaria yang mengejutkan pada musim lalu, Ludogorets Razgard.

Panjangnya jalan yang mesti dilalui membuat kans tim dari kompetisi kecil untuk bisa main di babak utama Liga Champions, layaknya mimpi di siang bolong. Hampir mustahil bagi juara Liga San Marino, Folgore, untuk bergabung dengan “Para Juara” di babak utama. Kalaupun mereka lolos dari “tiga babak kualifikasi”, pada babak play-off mereka harus berhadapan dengan kesebelasan besar Eropa macam Valencia, Manchester United, Bayer Leverkusen, Lazio, dan Sporting Lisbon.

Di sinilah penting untuk membuat kompetisi baru yang tingkatannya memang berada di bawah Liga Champions, yang berisi kesebelasan dari kompetisi kecil. Apakah Europa League menjadi jawaban?

Kompetisi Tingkat Kedua

UEFA Cup merupakan embrio awal Europa League. UEFA Cup merupakan kompetisi bagi para “juara kedua” –dalam arti sebenarnya– dari tiap kompetisi di Eropa. Pada 1999 UEFA Cup merger dengan UEFA Winners Cup atau Piala Winners yang berisikan juara Piala Domestik (cup) di tiap liga. Lalu, pada 2009, UEFA Cup diperkenalkan ulang dengan nama “Europa League” seperti yang kita kenal saat ini, dan dimerger dengan Piala Intertoto. Merger serta perkenalan ulang tersebut membuat tidak ada lagi kompetisi antartim di Eropa kecuali Liga Champions dan Europa League.

Setelah Platini menjabat terdapat alokasi yang besar untuk kesebelasan di kompetisi kecil. Liga Malta dan Liga Islandia sekalipun kini mengirimkan tiga wakilnya di Europa League. Tentu, saat bernama “UEFA Cup” hal ini sulit untuk terjadi.

Di sinilah kelemahan itu terlihat. Europa League menjadi kompetisi yang terlampau gemuk. Musim ini saja terdapat 191 kesebelasan yang berkompetisi. Mereka berasal dari negara peringkat pertama hingga ke-51 yang mengirimkan tiga wakil, sedangkan peringkat ke-52 dan ke-53 mengirimkan 53 wakil.

Jika melihat 10 tahun ke belakang, hampir tidak ada sesuatu yang mencolok dari Europa League. Mereka yang menjuarai kompetisi ini berasal dari kompetisi dengan koefisien 1 sampai 8. Hanya Liga Skotlandia (peringkat ke-23) yang pernah mengirimkan wakilnya dua kali ke final pada 2002/2003 dan 2007/2008.

Salah satu alasannya karena sejumlah kesebelasan harus melalui jalan yang lebih panjang, lebih melelahkan. Sama seperti Liga Champions, terdapat empat babak untuk mencapai babak grup. Di babak grup pun masih tersisa 48 kesebelasan yang kemudian disaring menjadi 32 kesebelasan pada babak knock-out.

Secara konsep sebenarnya tidak begitu jelas apa yang membuat UEFA masih mempertahankan Europa League seperti sekarang ini. Gemuknya kompetisi toh tidak membuat nilai Europa League bertambah. Malah, Europa League kini seperti dipandang sebelah mata oleh kesebelasan top Eropa sebagai kompetisi kelas kedua.

Mencontoh Asia

Untuk Apa Europa League digelar, jika juaranya merupakan “buangan” dari Liga Champions? CSKA Moscow, Shaktar Donetsk, Atletico Madrid, dan Chelsea, adalah contohnya. Gagal lolos dari babak grup membuat mereka terlempar ke Europa League, yang nyatanya memberikan mereka trofi.

Dilihat dari sisi manapun, “Para Juara” dari Liga Inggris tidak sepatutnya berada pada kompetisi kelas dua, kecuali mereka adalah kesebelasan langganan papan tengah macam Everton dan Tottenham Hotspur. Baik secara kualitas teknik dan finansial, tim-tim Liga Inggris tidak bisa disejajarkan dengan kompetisi Liga Kepulauan Faroe dan Liga Andorra, misalnya.

UEFA semestinya bisa mencontoh apa yang dilakukan oleh Konfederasi Sepakbola Asia, AFC, dalam mengelola kompetisi antarklub. Sama seperti UEFA, AFC pun mengelola dua kompetisi tertinggi: Liga Champions Asia (LCA) dan AFC Cup. Dari dua kompetisi tersebut, hanya negara peringkat ke-25 hingga ke-47 yang berhak mengikuti AFC Cup. Pengecualian diberikan kepada negara peringkat 24 besar yang tidak mendapat tempat di babak utama LCA, sehingga bisa berkompetisi di AFC Cup.

AFC tidak mengalokasikan slot bagi negara peringkat pertama hingga keenam di zona barat dan zona timur, untuk berpartisipasi di AFC Cup. Ini yang membuat tidak adanya kesebelasan di zona timur yang berasal dari Liga Korea Selatan, Liga Jepang, Liga Australia, Liga Tiongkok, (bahkan) Liga Thailand dan Liga Vietnam. Ini pula yang membuat tidak adanya juara AFC Cup yang berasal dari kompetisi top Asia seperti Liga Korea Selatan dan Liga Jepang.

Selain di kompetisi antarklub, AFC juga membuat terobosan dengan memberikan dua tiket bagi juara AFC Challange cup untuk berpartisipasi pada Piala Asia 2011 dan 2015.

AFC Challange Cup merupakan kompetisi untuk negara-negara yang masih mengembangkan sepakbolanya. AFC membagi 46 negara anggotanya ke dalam tiga kategori berdasarkan pengembangan sepakbolanya: negara yang telah berkembang (termasuk Indonesia), negara berkembang, dan negara yang baru memulai pengembangan (emerging).

Terobosan ini yang membuat Palestina untuk pertama kalinya tampil dalam kompetisi setingkat konfederasi. Bagi Palestina tentu ini bukan cuma kemenangan mereka dalam hal sepakbola tapi juga sebagai media bagi mereka untuk membuat dunia—setidaknya Asia—menoleh lewat pesan perdamaian dengan medium sepakbola.

Membuat Kompetisi Tingkat Ketiga

Ada ungkapan bahwa persaingan di Liga Champions baru dimulai saat memasuki bulan Maret. Pada kalender Liga Champions, itu berarti sudah memasuki  babak knock-out atau babak 16 besar. Pada babak tersebut umumnya semua kesebelasan besar bertemu, sedangkan kesebelasan antah berantah sudah tersisish. Pertandingan menjadi seru karena kualitas permainan yang terjaga disertai dengan drama-drama di dalamnya.

Kehadiran tim kecil di Liga Champions tidaklah begitu diharapkan. Jika Anda tidak punya tim pujaan, Anda barangkali lebih senang menyaksikan Barcelona vs Manchester United ketimbang CSKA Moscow menghadapi Ludogorets di waktu yang sama.

Selain itu, tidak ada kesebelasan yang bukan dari negara top Eropa yang bisa melangkah hingga partai final. Hanya klub-klub Spanyol, Inggris, Jerman, dan Italia yang selalu mendominasi partai final dalam sepuluh musim terakhir.

Kejutan terakhir kali terjadi pada musim 2003/2004 saat wakil Portugal dan wakil Prancis bertemu pada partai final. Itupun tidak bisa dibilang mengejutkan karena Portugal dan Prancis merupakan negara yang diperhitungkan di sepakbola.

Melihat fakta-fakta di atas, tentu sulit bagi tim kecil untuk bisa berprestasi di Eropa. Kompetisi paling rendah (Europa League) sekalipun, didominasi oleh “Para Juara”. Agaknya, UEFA mesti mempertimbangkan untuk membuat kompetisi khusus kesebelasan dengan peringkat koefisien ke-20 hingga ke-54, misalnya.

Secara bisnis, kompetisi tersebut memang tidak menguntungkan, tidak mendapat banyak sponsor, tidak mendapat perhatian dalam hal jumlah nilai hak siar. Namun, jika UEFA mengarah pada pengembangan kompetisi di seantero Eropa, cara seperti ini mutlak untuk dicoba.

Kesalahan Platini tentu dengan menggabungkan semuanya ke dalam satu bentuk kompetisi. Padahal, hal tersebut bisa menjadi menarik di mana ada kompetisi yang berisi pada juara piala domestik hingga para runner-up kompetisi. Namun, jika melihat pesatnya perkembangan Liga Champions, membangkitkan kembali kompetisi macam Piala Winners sulit dilakukan. Liga Champions sudah kadung dianggap kompetisinya “Para Juara” di mana banyak kesebelasan yang menyamai level tersebut meski tak menjuarai sebuah liga.

Kompetisi baru bisa saja membuat FC Santa Coloma, juara Liga Andorra, berhasil meraih kompetisi Eropa pertama mereka. Selain itu, mereka pun bisa lebih berpeluang mendapatkan publikasi serta dana tambahan dari merit money yang dibagikan oleh UEFA.

Namun, jika tak ada perubahan dalam struktur kompetisi Eropa, agaknya kita akan semakin lama menyaksikan kompetisi yang begitu-begitu saja, yang memang dirancang agar “Para Juara” bisa menjadi juara. Apa tujuannya? Anda bisa menjawabnya: sponsor dan hak siar.

====

* Akun twitter penulis: @Aditz92 dari @panditfootball
** Foto-foto: AFP

(dtc/a2s) Sumber: detiksport



Bolapro anda yang , | Pro Bola Menimbang Kompetisi Tingkat Ketiga di Eropa, Sumber: Berita Bola dipublish oleh Bolapro untuk anda yang ProBola

Tidak ada komentar:

Posting Komentar